Bencana Hidrometeorologi, Apa itu?

Bencana Hidrometeorologi, sebuah istilah yang dalam satu dekade terakhir marak dibahas. Bencana meteorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter (curah hujan,kelembaban,temperatur,angin) meteorologi. Kekeringan, Banjir, Badai, Kebakaran hutan, El Nino, La Nina, Longsor, Tornado, Angin puyuh, topan, angin puting beliung, Gelombang dingin, Gelombang panas, Angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bohorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana Hidrometeorologi. Bencana tersebut dimasukan kedalam bencana meteorologi karena bencana diatas disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi.

Perubahan cuaca hanya pemicu saja, penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan yang masif akibat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia terus meningkat selama 15 tahun terakhir.

   

Pada 2016 telah mengalami peningkatan jumlah kejadian bencana hidrometeorologi hingga 16 kali lebih tinggi dari jumlah kejadian bencana di tahun 2002. Bencana-bencana tersebut jelas akan memerikan dampak kerugian yang sangat besar. Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 diprediksi mencapai Rp 221 triliun, setara dengan 1,9 persen pendapatan ekonomi nasional.

Meningkatnya bencana hidrometeorologi merupakan konsekwensi dari meningkatnya kerentanan.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengatakan, banjir dan longsor erat kaitannya dengan curah hujan tinggi akibat kondisi cuaca ekstrem sebagai konsekuensi dari perubahan iklim. Akan tetapi, curah hujan yang tinggi bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya banjir di suatu wilayah. Faktor lingkungan, seperti infrastruktur sungai atau drainase yang buruk, penggundulan hutan, dan faktor lainnya sangat berpengaruh.

Berdasarkan data BMKG, dari peta frekuensi hujan lebat sepanjang tahun 2009-2016, wilayah Papua merupakan wilayah dengan frekuensi tertinggi kejadian hujan lebatnya. Namun, jika dilihat dari peta frekuensi kejadian banjir atau longsor dalam kurun ini, kejadian banjir di Papua yang terendah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pulau Jawa sebagai wilayah dengan tingkat pembangunan yang tinggi, frekuensi kejadian banjir dan longsornya juga sangat tinggi.

Frekuensi curah hujan tinggi tidak selalu dapat menimbulkan kejadian banjir dan longsor di suatu wilayah, tetapi lebih bergantung pada kondisi lingkungan setempat. Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan, intensitas bencana alam yang terus meningkat adalah akibat daya dukung lingkungan yang dari tahun ke tahun semakin lemah. Kerusakan ekologi terjadi secara masif karena didorong oleh penyalahgunaan lahan.

Kawasan hulu yang seharusnya menjadi zona lindung, resapan air, dan penyangga sistem hidrologi telah berubah menjadi pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman. Perubahan tersebut telah berlangsung sejak lama sehingga dampak yang ditimbulkan saat ini merupakan akumulasi dan memunculkan lahan kritis yang tersebar di wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti di Pulau Jawa. Baca “Bencana Lingkungan yang Tiada Akhir”.

Berbagai kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang memanfaatkan lahan tanpa memperhatikan fungsi kawasan, daya dukung dan daya tampung dalam DAS telah “sukses” menambah laju jumlah DAS kritis di Indonesia. Baca “Arisan bencana tahunan di Indonesia, Akankah berakhir?”

Bertambahnya jumlah DAS kritis telah terbukti secara linier dengan bertambahnya jumlah kejadian bencana hidrometeorologi. Penyerobotan kawasan hutan lindung di daerah hulu DAS menjadi kawasan pertanian intensif seperti yang terjadi di daerah hulu DAS Serayu di banjarnegara telah merubah wajah kawasan dataran tinggi Dieng menjadi tak bervegetasi, akibatnya, kejadian-kejadian bencana rajin menghampiri setiap tahunnya.

Kerusakan hutan di Indonesia dimulai sejak awal 1970-an, ketika pemerintah pada waktu itu membagi-bagi kawasan hutan produksi di Indonesia kepada para pemegang konsesi untuk dipanen kayunya. Lebih dari 600 perusahaan pemegang konsesi hutan produksi (HPH) memanen kayu-kayu di hutan alam Indonesia hingga sektor kehutanan pada waktu itu menduduki peringkat kedua penghasil devisa negara terbesar setelah minyak bumi. Akibat praktek pemanenan tanpa pemulihan hutan yang benar, maka luasan hutan yang terdegradasi semakin bertambah.

Berdasarkan data Kementrian Kehutanan, tahun 1985-1997 pengurangan luasan hutan mencapai 22,46 juta hektar, atau 1,87 juta hektar per tahun. Periode 1997-2000, laju pengurangan luasan hutan bertambah hebat hingga mencapai 2,84 juta ha per tahun. Hasil analisis citra SPOT Vegetation tahun 2000-2005 menunjukkan pengurangan penutupan hutan sebesar 1,08 juta hektar per tahun.

Berbagai data dan informasi diatas telah menjadi bukti yang kuat, bahwa keberadaan hutan terutama di daerah hulu DAS memiliki korelasi yang kuat terhadap kejadian bencana hidrometeorologi. Wilayah DAS yang biasanya dibagi menjadi 3 zona (hulu, tengah dan hilir) memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda-beda. (Baca “Sehatkah DAS kita?“)

Banyak peran hutan dalam pengendalian daur air yang harus dapat direstorasikan kembali jika ingin dapat berkontribusi dalam pengurangan resiko bencana hidrometeorologi. Dan yang terpenting, seluruh pihak harus dapat berperan dan berkontribusi dalam pemulihan lingkungan dan hutan untuk mewarisi generasi penerus lingkungan yang lebih baik.

 

Penulis: Hatma Suryatmojo

COMMENTS

Leave a Comment